Sabtu, 23 Oktober 2010

HANG TUAH


HANG TUAH
Alkisah, Di pantai barat Semenanjung Melayu, terdapat
sebuah kerajaan bernama Negeri Bintan. Waktu itu ada
seorang anak lakik-laki bernama Hang Tuah. Ia seorang
anak yang rajin dan pemberani serta sering membantu
orangtuanya mencari kayu di hutan. Hang Tuah mempunyai
empat orang kawan, yaitu Hang Jebat, Hang Lekir, Hang
Lekiu dan Hang Kesturi. Ketika
menginjak remaja, mereka bermain bersama ke laut. Mereka ingin menjadi pelaut yang
ulung dan bisa membawa kapal ke negeri-negeri yang jauh.
Suatu hari, mereka naik perahu sampai ke tengah
laut. Hei lihat, ada tiga buah kapal! seru Hang Tuah
kepada teman-temannya. Ketiga kapal itu masih
berada di kejauhan, sehingga mereka belum melihat
jelas tanda-tandanya. Ketiga kapal itu semakin
mendekat. Lihat bendera itu! Bendera kapal
perompak! Kita lawan mereka sampai titik darah
penghabisan! teriak Hang Kesturi. Kapal perompak
semakin mendekati perahu Hang Tuah dan temantemannya.
Ayo kita
cari pulau untuk mendarat. Di daratan kita lebih leluasa bertempur! kata Hang Tuah
mengatur siasat. Sesampainya di darat Hang Tuah mengatur siasat. Pertempuran antara
Hang Tuah dan teman-temannya melawan perompak berlangsung sengit. Hang Tuah
menyerang kepala perompak yang berbadan tinggi besar dengan keris pusakanya. Hai anak
kecil, menyerahlah. Ayo letakkan pisau dapurmu! Mendengar kata-kata tersebut Hang
Tuah sangat tersinggung. Lalu ia melompat dengan gesit dan menikam sang kepala
perompak. Kepala perompak pun langsung tewas. Dalam waktu singkat Hang Tuah dan
teman-temannya berhasil melumpuhkan kawanan perompak. Mereka berhasil menawan 5
orang perompak. Beberapa perompak berhasil meloloskan diri dengan kapalnya.
Kemudian Hang Tuah dan teman-temannya menghadap
Sultan Bintan sambil membawa tawanan mereka. Karena
keberanian dan kemampuannya, Hang Tuah dan temantemannya
diberi pangkat dalam laskar kerajaan. Beberapa
tahun kemudian, Hang Tuah diangkat menjadi pimpinan
armada laut. Sejak menjadi pimpinan armada laut, negeri
Bintan menjadi kokoh dan makmur. Tidak ada negeri yang
berani menyerang negeri Bintan.
Beberapa waktu kemudian, Sultan Bintan ingin mempersunting puteri Majapahit di Pulau
Jawa. Aku ingin disiapkan armada untuk perjalanan ke Majapahit, kata Sultan kepada
Hang Tuah. Hang Tuah segera membentuk sebuah armada tangguh. Setelah semuanya
siap, Sultan dan rombongannya segera naik ke kapal menuju ke kota Tuban yang dahulunya
merupakan pelabuhan utama milik Majapahit. Perjalanan tidak menemui hambatan sama
sekali. Pesta perkawinan Sultan berlangsung dengan meriah dan aman.
Setelah selesai perhelatan perkawinan, Sultan Bintan dan permaisurinya kembali ke
Malaka. Hang Tuah diangkat menjadi Laksamana. Ia memimpin armada seluruh kerajaan.
Tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena para perwira istana menjadi iri hati. Para
perwira istana menghasut Sultan. Mereka mengatakan bahwa Hang Tuah hanya bisa
berfoya-foya, bergelimang dalam kemewahan dan menghamburkan uang negara. Akhirnya
Sultan termakan hasutan mereka. Hang Tuah dan Hang Jebat di berhentikan. Bahkan
para perwira istana mengadu domba Hang Tuah dan Hang Jebat. Mereka menuduh Hang
Jebat akan memberontak. Hang Tuah terkejut mendengar berita tersebut. Ia lalu
mendatangi Hang Jebat dan mencoba menasehatinya. Tetapi rupanya siasat adu domba
oleh para perwira kerajaan berhasil. Hang Jebat dan Hang Tuah bertengkar dan akhirnya
berkelahi. Naas bagi Hang Jebat. Ia tewas ditangan Hang Tuah. Hang Tuah sangat
menyesal. Tapi bagi Sultan, Hang Tuah dianggap pahlawan karena berhasil membunuh
seorang pemberontak. Kau kuangkat kembali menjadi laksamana, kata Sultan pada Hang
Tuah. Sejak saat itu Hang Tuah kembali memimpin armada laut kerajaan.
Suatu hari, Hang Tuah mendapatkan tugas ke negeri India untuk membangun
persahabatan antara Negeri Bintan dan India. Hang Tuah di uji kesaktiannya oleh Raja
India untuk menaklukkan kuda liar. Ujian itu berhasil dilalui Hang Tuah. Raja India dan
para perwiranya sangat kagum. Setelah pulang dari India, Hang Tuah menerima tugas ke
Cina. Kaisarnya bernama Khan. Dalam kerajaan itu tak seorang pun boleh memandang
langsung muka sang kaisar.
Ketika di jamu makan malam oleh Kaisar, Hang Tuah minta
disediakan sayur kangkung. Ia duduk di depan Kaisar
Khan. Pada waktu makan, Hang Tuah mendongak untuk
memasukkan sayur kangkung ke mulutnya. Dengan
demikian ia dapat melihat wajah kaisar. Para perwira
kaisar marah dan hendak menangkap Hang Tuah, namun
Kiasar Khan mencegahnya karena ia sangat kagum dengan
kecerdikan Hang Tuah.
Beberapa tugas kenegaraan lainnya berhasil dilaksanakan
dengan baik oleh Hang Tuah. Hingga pada suatu saat ia
mendapat tugas menghadang armada dari barat yang
dipimpin seorang admiral yang bernama D Almeida.
Armada ini sangat kuat. Hang Tuah dan pasukannya
segera menghadang. Pertempuran sengit segera terjadi.
Saat itulah Hang Tuah gugur membela tanah airnya. Ia
tewas tertembus peluru sang admiral.
Sejak saat itu, nama Hang Tuah menjadi terkenal sebagai pelaut ulung, laksamana yang
gagah berani dan menjadi pahlawan di Indonesia dan di Malaysia. Sebagai bentuk
penghormatan, salah satu dari kapal perang Indonesia diberi nama KRI Hang Tuah.
Semoga nama itu membawa "tuah" yang artinya adalah berkah.
HIKMAH :
Semua warga negara Indonesia boleh mencontoh jiwa dan semangat kepahlawanan
Hang Tuah yang gagah berani, tangkas, cerdik dan pantang menyerah.
SUNGAI JODOH

Pada suatu masa di pedalaman pulau Batam, ada sebuah desa yang didiami seorang gadis
yatim piatu bernama Mah Bongsu. Ia menjadi pembantu rumah tangga dari seorang
majikan bernama Mak Piah. Mak Piah mempunyai seorang putri bernama Siti
Mayang. Pada suatu hari, Mah Bongsu mencuci pakaian
majikannya di sebuah sungai. Ular! teriak Mah Bongsu
ketakutan ketika melihat seekor ulat mendekat. Ternyata
ular itu tidak ganas, ia berenang ke sana ke mari sambil
menunjukkan luka di punggungnya. Mah Bongsu
memberanikan diri mengambil ular yang kesakitan itu dan
membawanya pulang ke rumah.
Mah Bongsu merawat ular tersebut hingga sembuh. Tubuh ular tersebut menjadi sehat
dan bertambah besar. Kulit luarnya mengelupas sedikit demi sedikit. Mah Bongsu
memungut kulit ular yang terkelupas itu, kemudian dibakarnya. Ajaib, setiap Mah Bongsu
membakar kulit ular, timbul asap besar. Jika asap mengarah ke Negeri Singapura, maka
tiba-tiba terdapat tumpukan emas berlian dan uang. Jika asapnya mengarah ke negeri
Jepang, mengalirlah berbagai alat elektronik buatan Jepang. Dan bila asapnya mengarah
ke kota Bandar Lampung, datang berkodi-kodi kain tapis Lampung. Dalam tempo dua, tiga
bulan, Mah Bongsu menjadi kaya raya jauh melebihi Mak Piah Majikannya.
Kekayaan Mah Bongsu membuat orang bertanya-tanya. Pasti Mah Bongsu memelihara
tuyul, kata Mak Piah. Pak Buntal pun menggarisbawahi pernyataan istrinya itu. Bukan
memelihara tuyul! Tetapi ia telah mencuri hartaku! Banyak orang menjadi penasaran dan
berusaha menyelidiki asal usul harta Mah Bongsu. Untuk menyelidiki asal usul harta Mah
Bongsu ternyata tidak mudah. Beberapa dari orang dusun yang penasaran telah
menyelidiki berhari-hari namun tidak dapat menemukan rahasianya.
Yang penting sekarang ini, kita tidak dirugikan, kata Mak
Ungkai kepada tetangganya. Bahkan Mak Ungkai dan para
tetangganya mengucapkan terima kasih kepada Mah
Bongsu, sebab Mah Bongsu selalu memberi bantuan
mencukupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain mereka,
Mah Bongsu juga membantu para anak yatim piatu, orang
yang sakit dan orang lain yang memang membutuhkan
bantuan. Mah Bongsu seorang yang dermawati, sebut
mereka.
Mak Piah dan Siti Mayang, anak gadisnya merasa tersaingi. Hampir setiap malam mereka
mengintip ke rumah Mah Bongsu. Wah, ada ular sebesar betis? gumam Mak Piah. Dari
kulitnya yang terkelupas dan dibakar bisa mendatangkan harta karun? gumamnya lagi.
Hmm, kalau begitu aku juga akan mencari ular sebesar itu, ujar Mak Piah.
Mak Piah pun berjalan ke hutan mencari seekor ular. Tak
lama, ia pun mendapatkan seekor ular berbisa. Dari ular
berbisa ini pasti akan mendatangkan harta karun lebih
banyak daripada yang didapat oleh Mah Bongsu, pikir Mak
Piah. Ular itu lalu di bawa pulang. Malam harinya ular
berbisa itu ditidurkan bersama Siti Mayang. Saya takut!
Ular melilit dan menggigitku! teriak Siti Mayang
ketakutan. Anakku, jangan takut. Bertaha
nlah, ular itu akan mendatangkan harta karun, ucap Mak Piah.
Sementara itu, luka ular milik Mah Bongsu sudah sembuh. Mah Bongsu semakin
menyayangi ularnya. Saat Mah Bongsu menghidangkan makanan dan minuman untuk
ularnya, ia tiba-tiba terkejut. Jangan terkejut. Malam ini antarkan aku ke sungai, tempat
pertemuan kita dulu, kata ular yang ternyata pandai berbicara seperti manusia. Mah
Bongsu mengantar ular itu ke sungai. Sesampainya di sungai, ular mengutarakan isi
hatinya. Mah Bongsu, Aku ingin membalas budi yang setimpal dengan yang telah kau
berikan padaku, ungkap ular itu. Aku ingin melamarmu untuk menjadi istriku, lanjutnya.
Mah Bongsu semakin terkejut, ia tidak bisa menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi
bingung.
Ular segera menanggalkan kulitnya dan seketika itu juga
berubah wujud menjadi seorang pemuda yang tampan dan
gagah perkasa. Kulit ular sakti itu pun berubah wujud
menjadi sebuah gedung yang megah yang terletak di
halaman depan pondok Mah bongsu. Selanjutnya tempat itu
diberi nama desa Tiban asal dari kata ketiban, yang artinya
kejatuhan keberuntungan atau mendapat kebahagiaan.
Akhirnya, Mah Bongsu melangsungkan pernikahan dengan
pemuda tampan tersebut. Pesta pun dilangsungkan tiga
hari tiga malam. Berbagai macam hiburan ditampilkan.
Tamu yang datang tiada henti-hentinya memberikan
ucapan selamat.
Dibalik kebahagian Mah Bongsu, keadaan keluarga Mak Piah yang tamak dan loba sedang
dirundung duka, karena Siti Mayang, anak gadisnya meninggal dipatuk ular berbisa.
Konon, sungai pertemuan Mah Bongsu dengan ular sakti yang berubah wujud menjadi
pemuda tampan itu dipercaya sebagai tempat jodoh. Sehingga sungai itu disebut Sungai
Jodoh.
HIKMAH :
Sikap tamak, serakah akan mengakibatkan kerugian pada diri sendiri. Sedang sikap
menerima apa adanya, mau menghargai orang lain dan rela berkorban demi sesama
yang membutuhkan, akan berbuah kebahagiaan.

MALIN KUNDANG


Pada suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di
pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga tersebut terdiri
dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki yang diberi nama
Malin Kundang. Karena kondisi keuangan keluarga yang
memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari
nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang
luas.
Maka tinggallah si Malin dan ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu, sebulan, dua
bulan bahkan sudah 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak juga kembali ke kampung
halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan
memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung
batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya
dan tidak bisa hilang.
Setelah beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang banting
tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir untuk mencari nafkah di
negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah
menjadi seorang yang kaya raya. Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal
dagang yang dulunya miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Malin kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang setuju
dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak, Ibu Malin Kundang
akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati. Setelah mempersiapkan bekal dan
perlengkapan secukupnya, Malin segera menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya.
"Anakku, jika engkau sudah berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau
lupa dengan ibumu dan kampung halamannu ini, nak", ujar Ibu Malin Kundang sambil
berlinang air mata.
Kapal yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian tangan Ibu
Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu
pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Di tengah perjalanan, tibatiba
kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan
para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar
awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin
Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika
peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh
kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya
terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju
ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong
oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang
menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan
keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang
yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih
dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis
untuk menjadi istrinya.
Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah
menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin
Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah
berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang setiap hari pergi
ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke
kampung halamannya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya
melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah
disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang
banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui
anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke
pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang
berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang
sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang
beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya
melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia
dekati adalah Malin Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama
tanpa mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Malin Kundang segera
melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga
terjatuh. "Wanita tak tahu diri, sembarangan saja
mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang pada
ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya,
karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan
mengenakan baju compang-camping. "Wanita
itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura
mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut Malin kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang
sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya
yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau
benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin
bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang.
Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya
berbentuk menjadi sebuah batu karang.
HIKMAH :
Sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa orangtua terutama
kepada seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan anaknya, apalagi jika
sampai menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka kepada orangtua merupakan
satu dosa besar yang nantinya akan ditanggung sendiri oleh anak.